Thursday, June 30, 2016

Puasa di Indonesia, Antara Keimanan dan Toleransi

Beberapa minggu lalu di medsos ramai dengan postingan pro dan kontra tempat makan apakah tetap dibiarkan berjualan di siang hari selama bulan puasa dan biasanya yang tetap nekad buka adalah warteg. Puncaknya adalah ketika ada razia warung yang masih keukeuh berjualan dan di razia oleh Satpol PP di ramai beritakan oleh televisi. Jika tidak salah di Banten ada seorang  Ibu - ibu separuh baya yang tetap membuga wartegnya, kemudian makanannya di razia oleh Satpol PP setempat.

Terlihat di televisi tersebut yang saya tonton melalui Youtube si Ibu itu menangis dan memohon agar jualannya tidak disita, tapi Satpol PP tetap melakukan razia dengan dalih bahwa sebelumnya sudah ada surat edaran dari Pemda setempat untuk tidak berjualan di siang hari selama bulan ramadhan bahkan edaran itu sudah jadi peraturan.

Sebagai negara yang masyarakatnya mayotitas muslim, bukannya mendapat dukungan dari masyarakat malah Satpol PP tersebut mendapat kecaman dari netizen dan justru dari umat muslim sendiri. Sebaliknya Ibu pedangan itu malah mendapat simpati yang luar biasa dari pemirsa tv dan juga netizen, akhirnya mereka pun menyumbang si Ibu itu dan yang membuat masalah ini menjadi heboh ketika Presiden Jokowi turut serta menyumbang Ibu pedagang tersebut. Apa yang telah dilakukan oleh presiden itu seakan menjelaskan bahwa apa yang telah dilakukan bawahannya (Satpol PP) itu adalah tidak tepat.

Kita paham betul bahwa setiap kali menginjak bulan ramadhan masalah ini selalu muncul dan ramai dibicarakan bahkan diperdebatkan berulang-kali ditanyangkan di televisi, sampai akhirnya tiba Hari Raya Idul Iitri dan hilang untuk sementara. Dan kemudian tahun depan muncul kembali dan kita semua ramai-ramai membahasnya dan selanjutnya seperti itu tidak ada habisnya.

Razia yang dilakukan oleh aparat pemerintah dan beberpa LSM biasanya selalu muncul ke publik dan menampilkan orang-orang yang teraniaya tanpa berpikir maksud dan tujuannya. Di masyarakat kita, yang teraniaya selalu mendapatkan porsi perhatian dan simpati yang lebih banyak. Tanpa mengetahui akar masalahnya dan penyebabnya. Porsi terbesar yang sering mendapatkan simpati adalah publik figur biasanya dari kalangan artis, banyak sekali contohnya yang telah melakukan kasus asusila namun kemudian mendapatkan simpati dan dimaafkan ataupun dilupakan begitu saja. Itu mungkin karakter bangsa kita yang mundah lupa, pemaaf dan solider.

Kembali ke masalah razia rumah makan yang tetep buka di bulan ramadhan, saya akui pada dasarnya merazia itu niatnya bagus. Seperti untuk pernertiban pkl, prostitusi dan lain sebagainya tetapi kadang caranya terlalu refresif. Nama aparat jelas sekali sudah buruk di mata masyarakat, apapun yang dilakukannya selalu mendapat tanggapan yang berbeda baik itu pro ataupun kontra.

Keimanan dan Toleransi

Banyak orang yang berkata bahwa kalau memang keimanan seseorang yang sudah mantap meskipun dikasih makan mereka tetap tidak akan berbuka. Selain itu juga  dengan adanya larangan tempat makan dilarang buka siang hari selama bulan ramadhan tersebut justru katanya seolah meragukan keimanan umat Islam. Dan kemudian akan muncul anggapan bahwa dengan adanya warung yang buka akan menjadi pemicu seseorang untuk membatalkan puasanya.

Selain itu, berbicara tentang keimanan bukan hanya masalah puasa saja banyak amaliah ibadah yang dapat kita lakukan selama bulan ini agar kita termasuk orang-orang yang bertqwa sepeti tujuan awal dari diwajibkannya puasa ini.

Indonesia merupakan negara pluralistis yang masyarakatnya terdiri dari berbagai suku dan agama. Mereka yang tidak beragama Islam dan tidak sedang berpuasa tentu membutuhkan makan pada siang hari. Jika banyak warung dipaksa tutup mereka yang tidak berpuasa akan kesulitan untuk mencari makanan. Dan ini katanya tidak bertoleransi, seperti yang diungkapkan oleh Menteri Agama yaitu seharusnya yang berpuasa pun menghormati yang tidak berpuasa. Dan kemudian pernyataan ini ditanggapi beragam oleh kita serta bertebaran meme-meme di medsos.

Toleransi sejatinya merupakan kemampuan kita untuk menghargai dan menghormati pihak yang berbeda dengan kita. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa yang tidak berpuasa menghormati yang puasa dan sebaliknya yang berpuasa pun juga menghormati yang tidak berpuasa karena satu dan lain hal sehingga tidak dapat menjalani puasa.

Sebagian besar orang yang berpuasa tentu ingin dihormati agar tempat hiburan malam dan warung makan tutup selama ramdhan agar dapat menjalani bulan suci ini dengan tentram. Sementara yang tidak berpuasa pun minta toleransi agar tempat makan tetap buka di siang hari. Ketika dua-duanya minta dihormati, kadang kita merasa paling benar dan tidak ada yang mengalah.

Maka acuannya adalah menggunakan suara terbanyak. sejatinya minoritas pada daerah tersebut mengalah dan menghormati yang minoritas. Dapat kita ambil contoh suasana ramadhan di luar negeri seperti eropa, kaum islam minoritas tidak seta merta meminta agar tempat makan tutup selama ramadhan, mereka tetap menghormati mayoritas warga sana yang tidak berpuasa. Mereka sadar betul bahwa mereka berada di lingkungan minoritas.

Kalau kita benar-benar mengerti dan mengarhagi toleransi, biarkan saja beberapa daerah membuat aturan sendiri bahwa tidak ada warung yang buka di siang hari dan hiburan malam tutup atau di daerah lain lagi tetap buka. Justru ini akan menggambarkan bahwa bangsa kita pluralis dan toleran, di mana setiap daerah punya aturan sendiri dan tentu sudah disepakati oleh warganya. Kadanga kita sering berkomentar tentang suatu daerah orang tapi daerah tersebut ternyata justru setuju dengan aturan tersebut.

Bulan ini tidak setiap bulan dalam setahun hanya satu bulan. Kalau setiap orang memahami toleransi, sejatinya harunya minoritas menghaomati minoritas. para pengusaha warung hendaknya bertahan diri, dia bisa beralih bisnis. dan mencoba mencari peruntungan usahan lain. toh dibeberapa tempat tempat makan masih boleh tetap buka seperti terminal, Rumah Sakit dan lain-lain.

Dan saya rasa kurang tepat alasannya jika penutupan warung di siang hari selama bulan ramadhan ini menghambat pencarian orang miskin, lagi pula sore harinya mereka bisa berjualan juga atau mungkin subuh (ketika sahur). Malah banyak yang memanfaatkan momen ramdhan ini untuk berbisnis dadakna seperti kuliner atau pakaian, bahkan yang saya ketahui omzet mereka melebihi hari biasa (di luar bulan ramadhan).

Saya tidak ingin terlalu serius memperdebatkan apakah warung boleh buka atau tidak buat saya itu tidak menjadi masalah. Namun yang akan menjadi masalah mungkin ketika anak saya mulai mengenal puasa dan sudah mulai banyak bertanya kepada saya. Barang kali saya mulai kerepotan dengan pertanyaannya dan bahayanya lagi jika mereka ikut makan juga di tempat makan itu dengan dalih masih kecil atau ikut-ikutan. Belum lagi ditambah anak-anak kecil memiliki predikat sebagai peniru ulung.

Mudah-mudahan bulan ramadhan ini menjadi momentum bagi kita untuk memperbaiki diri kita. terutama meningkatkan keimanan dan lebih memahami dan menghargai arti toleransi sehingga kesucian bulan Ramadhan bisa tetap terjaga.

Sebagai penutup saya jadi ingat sebuah acara kriminal yang populer dangan Bang Napi " Ingat... berbuka puasa di siang hari (godin), bukan hanya karena ada niat dari pelakunya tapi karena ada warung buka. Waspadalah waspadalah waspadalah...!!!."

No comments:

Post a Comment