Friday, July 1, 2016

Komunisme / PKI, Sebuah Perjuangan Keji Mengatasnamakan Rakyat Miskin

Demo rakyat Indonesia menuntut pembubaran PKI tahun 1965. ( Foto: AP )

“Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler”.

Begitulah kira-kira bait lagu genjer-genjer yang popular di tahun 60-an. Dulu ketika alm. bapak saya masih hidup saya sempat bertanya mengenai pelarangan lagu ini. Kebetulan bapak saya seorang guru dan mengalami jaman PKI, Bapak saya hanya menjawab, bahwa lagu ini sering di nyanyikan oleh PKI, padahal lagu ini katanya menceritakan keprihatinan yang dialami masyarakat Indonesia karena penjajahan Pemerintah Jepang membuat rakyat Indonesia kesulitan dalam berbagai bidang.




Kebetulan beberapa pekan ini sedang naik-naiknya isu PKI muncul kembali di Indonesia dan tersebar diberbagai media massa maupun sosial. Saya tertarik lagi untuk membaca sejarahnya. Setelah saya telusuri ternyata pelarangan lagu ini ada beberapa alasan di antaranya Partai Komunis Indonesia (PKI) melancarkan kampanye besar-besaran untuk meningkatkan popularitas. Lagu ini, yang menggambarkan penderitaan warga desa, menjadi salah satu lagu propaganda yang disukai dan dinyanyikan pada berbagai kesempatan. Akibatnya orang mulai mengasosiasikan lagu ini sebagai "lagu PKI".

Sementara itu menurut Pemerintah Orba, para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan Pemuda Rakyat yang disinyalir merupakan organisasi dibawah PKI, menyanyikan lagu “Genjer-Genjer” ketika para jendral diculik, diinterogasi dan "disiksa" di Lubang Buaya Jakarta.Plesetan lagu “Genjer-Genjer” menjadi “Jendral-Jendral” pun menambah satu alasan yang menguatkan lagu ini memang identik dengan PKI. Sehingga ‘seolah-olah' semakin memperjelas bahwa lagu ini mempunyai hubungan intim dengan PKI. Peristiwa ini juga digambarkan pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI pada masa Pemerintah Orba.

Paham Karl Marx tentu menjadi rujukan bagi beberapa organisasi di tengah arus kapitalisme yang mulai merajalela di negeri ini. Selama jarak si miskin dan si kaya begitu jauh. orang seperti saya yang lahir 3 dekade pasca peristitwa  mungkin tidak tahu menau kegiatan pki, hanya tau dari masih sempat dipaksa nonton G30 S/PKI. ataupun membaca literasi sejarah yang ujungnya masih abu-abu.

Komunisme lahir dari pemikiran Karl Marx ketika kaum kapitalis berlaku sewenang-wenang dan mempekerjakan  manusia di atas manusia lain tanpa mengenal batas keprikemanusiaan. Cita-cita Karl Marx melalui komunis adalah masyarakat tanpa kelas yang tidak ada Tuan dan Hamba. Komunisme sebagai anti-kapitalisme menggunakan sistem partai komunis sebagai alat pengambil alihan kekuasaan dan sangat menentang kepemilikan akumulasi modal atas individu yang  semua prinsipnya adalah direpresentasikan sebagai milik rakyat. Oleh karena itu, seluruh alat-alat produksi harus dikuasai oleh negara guna kemakmuran rakyat secara merata.

Sementara Komunisme di Indonesia sendiri tak bisa dilepaskan dari hadirnya orang-orang buangan politik dari Belanda dan mahasiswa-mahasiswa lulusannya yang berpandangan kiri seperti yang sangat popular namanya yaitu Tan Malaka. Kehancuran PKI fase ini bermula dengan adanya Persetujuan yang memutuskan akan ada pemberontakan besar-besaran di seluruh Hindia-Belanda. Tan Malaka yang tidak setuju karena Komunisme di Indonesia kurang kuat mencoba menghentikan, namun para tokoh PKI lainnya tidak menggubris usulan tersebut, kecuali mereka yang ada di pihak Tan Malaka. Pemberontakan terjadi pada tahun 1926-1927 yang berakhir dengan kekalahan PKI. Para tokoh PKI menyalahkan Tan Malaka atas kegagalan tersebut, karena telah mencoba menghentikan pemberontakan dan memengaruhi cabang-cabang PKI.

Kemudian gerakan PKI bangkit kembali pada masa Perang Kemerdekaan Indonesia, yaitu diawali oleh kedatangan Muso  dari Uni Soviet. Sama seperti Soekarno dan tokoh pergerakan lain, Muso berpidato dengan lantang di Yogyakarta dengan pandangannya yang murni Komunisme. Di Yogyakarta, Muso juga mendidik calon-calon pemimpin PKI seperti D.N. Aidit. Muso dan pendukungnya kemudian menuju ke Madiun, di sana ia dikabarkan mendirikan Negara Indonesia sendiri yang berhalauan komunis. Gerakan ini didukung oleh salah satu menteri Soekarno, Amir Syarifuddin. Divisi Siliwangi akhirnya maju dan mengakhiri pemberontakan Muso ini. 

Pasca Perang Kemerdekaan Indonesia tersebut, PKI menyusun kekuatannya kembali. Didukung oleh Soekarno yang ingin menyatukan semua aspek masyarakat Indonesia saat itu, di mana antar ideologi menjadi musuh masing-masing, PKI menjadi salah satu kekuatan baru dalam politik Indonesia. Ketegangan itu tidak hanya terjadi di tingkat atas saja, melainkan juga di tingkat bawah di mana tingkat ketegangan banyak terjadi antara tuan tanah dan para buruh tani.

Soekarno sendiri yang cenderung ke kiri, lebih dekat kepada PKI. Terutama setelah Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, politik luar negeri Indonesia semakin condong ke Blok Timur (Blok Komunis Uni Soviet). Indonesia lebih banyak melakukan kerja sama dengan negara komunis seperti Uni Soviet, Kamboja,Vietnam, RRT, maupun Korea Utara. 

Di sisi lain, konflik dalam negeri semakin memanas dikarenakan krisis moneter, selain itu juga terdengar desas-desus bahwa PKI dan militer yang bermusuhan akan melakukan kudeta. sementara PKI mencurigai TNI hendak melakukan kudeta atas Presiden Soekarno yang sedang sakit, tepat saat ulang tahun TNI. Kecurigaan satu dengan yang lain tersebut kemudian dipercaya menjadi sebab insiden yang dikenal sebagai Gerakan 30 September, namun beberapa ilmuwan menduga, bahwa ini sebenarnya hanyalah konflik intern militer waktu itu.

Pasca Gerakan 30 September, terjadi pengambinghitaman kepada orang-orang komunis oleh pemerintah Orde Baru. Terjadi "pembersihan" besar-besaran atas warga dan anggota keluarga yang dituduh komunis meskipun belum tentu kebenarannya. Semenjak jatuhnya Presiden Soeharto, aktivitas kelompok-kelompok komunis, marxis, dan haluan kiri lainnya, mulai kembali aktif di lapangan politik Indonesia, walaupun secara hukum, belum boleh mendirikan partai karena masih dilarang oleh pemerintah.

Komunisme/ PKI, Sebuah Perjuangan Keji

Tujuan mulianya didirikan PKI adalah untuk menyebarkan paham Komunis-Sosialis yang menginginkan perbaikan nasib para buruh, rakyat miskin dan bertujuan untuk memerdekakan Indonesia dari tangan Kolonial Belanda dengan berlandaskan paham Komunisme dengan berasas membebaskan Indonesia. Namun cara-cara yang dilakukan PKI ini sangat radikal dan menghalalkan segala cara. Dan berharap Partai ini didirikan dengan harapan Indonesia dapat mengikuti Revolusi seperti yang terjadi di Rusia.

Saya pernah ngobrol dengan orang yang lahir ketika masa PKI masih berjaya bahkan alm. bapa pernah menceritakan bagaimana kebiadan yang dilakukan komunis untuk tujuan mereka. Namun yang lebih populer adalah pembatantai PKI oleh Soehato di banding berita-berita yang meceritakan kekejaman PKI atau komunis dalam mencapai tujuannya.

Berikut sebagian tulisan Marzani Anwar seorang Peneliti Utama pada Balai Litbang Agama Jakarta dan Koordinator Penelitian "Pelanggaran HAM oleh PKI" Komnas HAM Tahun 2005 berjudul "Kekejaman PKI dari Masa ke Masa"  yang dimuat pada Opini Harian Republika Online :

Sejak 1960-an, daerah Jawa Tengah dikenal menjadi basis PKI, terutama di Solo, Kartosusuro, Boyolali, dan Klaten. Banyak aksi sepihak yang ditujukan kepada lawan politk, tokoh agama, dan orang-orang sipil tak berdosa. Di antaranya, penculikan dan penghilangan paksa empat orang di Klaten dan hingga kini tidak ketahuan kuburannya.

Pada kasus lain, sebanyak 16 orang, orang-orang PKI secara tiba-tiba menyekap sambil mengacungkan arit (sabit). Kawan-kawannya yang tidak bisa lolos menjadi sasaran kekerasan massa PKI. Mereka yang dibacok dan dibabat ada tujuh orang, ada yang dibacok bagian kepala, tangan, dan bahu. Pembunuhan juga menimpa Basuni di Jatinom dan Miftah penduduk Laweyan Sala.

Beralih ke 'peristiwa Kanigoro', di Kanigoro, Kediri, Jawa Timur. Tempat dilangsungkannya acara mental-training oleh Pelajar Islam Indonesia (PII). Saat itu, pada 13 Januari 1965, di tengah acara, anggota PKI melakukan penggerebekan di pagi hari setelah peserta melaksanakan shalat Subuh. Saat itu, orang-orang PKI serta-merta datang dan serempak menyerbu lokasi mental-training.

Mereka mengambil buku-buku, termasuk Alquran di masjid, lalu dinjak-injak. Para peserta, termasuk panitia, 150-an orang, digiring dengan tangan diikat satu sama lain, dipaksa berjalan empat km sambil diintimadasi, diancam, serta diteror.

Peristiwa "Cemethuk" Banyuwangi, informasi didapat kesaksian Maedori, saksi mata yang berhasil meloloskan diri dari usaha pembunuhan oleh PKI, kemudian memberikan kesaksian mengenai peristiwa "Cemethuk" Banyuwangi. Aksi PKI di Banyuwangi berkaitan langung dengan G30S/PKI di Jakarta.

Mereka diberi makanan yang sudah dicampuri racun, kemudian satu per satu dibunuh, dan mayatnya dimasukkan ke sumur yang sudah disiapkan. Ada tiga lubang pembantaian. Satu lubang besar berisi 40 mayat dan dua lainnya masing-masing 11 mayat.

Pembantaian di Blitar Selatan atas pengungkapan di buku Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai tulisan Soegiarso Soerojo, di halaman 331-332. Di antaranya mengungkapkan kasus kekejaman PKI, seperti di Rejotangan, Ngunut, Kaliwadi, dan Bojolangu. Mereka melakukan praktik intimidasi terhadap rakyat dan merampok harta kekayaan penduduk, membunuh orang tak berdosa, dengan sasaran utama golongan beragama.

Menculik setiap orang yang mereka curigai. Bila ternyata lawan, mereka tak segan-segan membunuhnya. Praktik kejam ini dipimpin Sugita dan Sutrisno, keduanya anggota CGMI.

Kasus pembantaian di Kediri diungkap berdasar kesaksian Ibu Yatinah (69 tahun), anak kandung korban bernama Sarman. Peristiwanya terjadi pada 18 September 1948 sewaktu menghadiri rapat pamong di kelurahan, tiba-tiba ia dicegat segerombolan orang. Kemudian, dibawa paksa ke suatu tempat sambil diikat kedua tangannya. Berhari-hari ayahnya tidak pulang, dan ternyata termasuk yang dimasukkan di sumur maut dekat di sini (menunjuk ke luar desa), bersama 108 orang. Sarman tertulis di nomor 48 dalam daftar di monumen tersebut.

Masih di Kediri, yakni penculikan disertai pembunuhan, terjadi pasca-G30S/PKI. Korbannya adalah Imam Mursyid dan kawannya, termasuk Kiai Zaenuddin. Atas kesaksian Djaini bin Ramelan (65), adik kandung korban Imam Mursyid. Menurut salah seorang yang ikut mengubur, ia cuma bilang bahwa Imam Mursyid dicegat di tengah jalan, kemudian dibawa ke Desa Besowo, dioper ke sana-kemari, sampai akhirnya diikat terus dimasukkan ke jurang sungai.

Sungainya sangat curam, setinggi pohon kelapa. Penculikan terjadi sekitar 10 Oktober 1965. Keadaan mayat, badannya masih utuh, tapi diikat kencang. Perkiraan saksi, korban dimasukkan di sumur itu saat masih hidup, kemudian ditimbuni tanah.

Kasus Takeran (Sumur Kenongo Mulyo) terungkap atas kesaksian Kaelan Suryo Martono (73), beralamat di Desa Giringan, pekerjaan sebagai petani di Jawa Timur. Peristiwa Takeran terjadi pada 1948.

Keterangan kasus Takeran diperkuat salah seorang saksi korban bernama Hadi Syamsuri (80), pensiunan naib (petugas pernikahan) di Takeran. Ia diculik dan digiring ke Desa Baeng dan ditahan di sana. Di situ sudah ada sekitar 80 orang Muslim ditahan. Selama 40 hari ia ditahan di Baeng.

Di tempat tawanan ditemui sejumlah lurah yang juga ditawan. Selama ditahan, mereka tidak diberi makan. Sebagian kawan lain ditahan di Desa Cigrok. Selama di tahanan, orang-orang PKI itu merampas kerbau dan sapi milik warga. Tiap hari mereka memotong kerbau atau sapi untuk pesta yang berjaga di Baeng. Pada saat tentara Siliwangi datang, mereka yang ditahan di Desa Cigrok dibunuh semua oleh PKI. Sedangkan, yang di Baeng berhasil menyelamatkan diri.

Kasus Kresek, Madiun, terungkap berdasarkan kesaksian KH Ahmad Junaedi, anak kandung salah seorang korban bernama KH Barokah Bachruddin. Sejumlah kiai diculik dan dibunuh. Diduga kuat sebelum dibunuh, mereka dianiaya.

Menurut para saksi, para kiai itu ada yang matinya ditembak, dipenggal lehernya, dipukul dengan benda tajam. Kiai Shodiq satu-satunya yang dibunuh dengan cara didorong ke lubang dalam keadaan tangan terikat kemudian diurug (ditimbun tanah). Husnun, salah seorang saksi, mendapat keterangan dari para saksi lain bahwa para penculiknya waktu itu membawa parang, tali, benda tumpul, selain senjata api.

Terungkapnya kasus pembantaian di Markas Gebung, Ngawi, Jawa Timur, berdasarkan keterangan para saksi korban penculikan di Desa Gebung. Korbannya ditahan 12 hari, hampir-hampir tidak diberi makan. Mereka terkurung di dalam rumah yang terkunci, lalu rumah dibakar.

Orang-orang PKI tetap siaga di luar rumah, lengkap dengan senjata tajam sehingga tawanan yang mencoba kabur ditangkap lagi dan dimasukkan ke dalam api atau dibunuh langsung. Setelah peristiwa usai, kemudian dibersihkan, ditemukan banyak mayat, tujuh orang di antaranya dipindahkan ke Makam Pahlawan Ngawi.

Dan tentu banyak sekali kekejaman-kekejaman PKI yang mengatas namakan rakyat kecil. mereka mencoba mengadu domba rakyat kecil hanya untuk kepentingan semata. Maka waspadalah terhadap gerakan-gerakan yang menyerupai mereka.

(sumber rujukan sejarah : wikipedia)

No comments:

Post a Comment